TORONTO ONTARIO, CANADA

Gambar  —  Posted: 18 April 2013 in Uncategorized

banjir jakartaaa

Banjir lagi, banjir lagi. Bukankah banjir itu sudah kita alami sejak jaman dahulu kala, tetapi mangapa selalu saja kita terlanda banjir setiap tahunnya. Seolah-olah tidak ada hasil nyata dari usaha yang selama ini dilakukan, yaitu kegiatan penanggulangan banjir. Berapa ratus juta rupiah sudah dianggarkan untuk itu, kok hasilnya tetep saja ada banjir. Sebenarnya bagaimana sih penanganan banjir yang telah dilakukan itu.

Secara rasional, tambahan debit banjir itu dipengaruhi oleh derasnya curah hujan, luasan area tangkapan air (wilayah pensuply air hujan), dan derajat mutu resapan lahan pengaliran air hujan (Q = C.I.A, metoda rasional Van The Cow). Mutu resapan dipengaruhi oleh bentuk perkerasan permukaan tanah, semakin keras (kedap air) maka semakin besar tingkat pengalirannya. Demikian pula untuk wilayah supply air hujan, semakin luas maka semakin banyak aliran yang digelontorkan. Luasan ini dipengaruhi oleh bentuk lahan dan aliran sungai, semakin panjang aliran sungainya maka semakin besar luasannya.

Yang sudah kita ketahui secara umum, bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka keberadaan lahan kosong semakin menipis, akibatnya semua lahan perkotaan akan tertutup oleh permukiman dengan segala fasilitasnya. Sayangnya belum semua permukiman dilengkapi dengan sarana dan prasarana pembuangan air hujan yang memadai, belum ada masterplan drainage yang tersusun secara lengkap untuk seluruh wilayah kota. Sehingga, ketika hujan turun di daerah pinggiran kota yang belum terencana dan terbangun secara baik, air hujan lari kemana-mana mencari tempat yang lebih rendah dengan kecepatan sesuai kemiringan lahan yang ada, makin curam makin cepat. Artinya, ketika dari wilayah atas ke bawah dengan kondisi curam, air akan berlari dengan cepat, sedangkan ketika memasuki daerah datar, air hanya akan berjalan dengan lambat menuju ke laut. Maka terjadilah penumpukan air di daerah-daerah datar, dan terjadilah banjir.

Yang perlu diperhatikan dalam pengatasannya adalah, dalam perencanaan wilayah harus sudah difikirkan tentang akibat yang akan timbul ketika suatu tempat akan dilaksanakan sebuah pembangunan. Masalah yang diduga akan timbul, harusnya sudah bisa diselesaikan di tempat itu. Kalau daerah atas akan menutup lahan dengan bentuk perkerasan yang memungkinkan terjadinya peningkatan air larian, ya harus sudah menyiapkan tempat-tempat untuk menampung air larian tersebut di lokasi atas, jangan dibuang ke bawah. Air genangan di wilayah atas, selesaikan di atas, air genangan di bawah selesaikan di bawah. Begitu pula aliran sungai di sebuah kawasan industri, selesaikan di tempat itu, jangan dilempar ke permukiman penduduk. Kawasan Industri yang terbelah sungai, diatur sedemikian rupa sehingga wajah sungai menjadi sebuah open space yang menyejukkan dan menyenangkan, menjadi tempat yang nyaman untuk istirahat karyawan.

Masalah, pada hakekatnya adalah untuk di atasi, bukan untuk dihindari. Kalau semua mau bertanggung jawab dengan siap memikul beban dari perbuatannya sendiri, pastilah tidak ada yang akan dirugikan, dan lingkungan akan tetap terjaga dengan baik, sebab semuanya bisa dan bersedia menjaga kualitas lingkungan masing-masing. Akhirnya banjir tidak akan ada lagi, semoga.

Brazil2

Kepulauan Indonesia terletak pada wilayah pertemuan 3 (tiga) lempeng besar dunia yaitu Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik). Akibat dari tumbukan ketiga lempeng tersebut terjadi penusupan salah satu benua dan pengangkatan di sisi benua yang lain, hal ini akan dapat menimbulkan fenomena alam berupa gempa bumi dan tsunami serta dapat memicu gerakan tanah. Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau subduction zone yang akan mengakibatkan pembentukan gunung api di busur kepulauan dengan kemiringan sedang hingga terjal. Material hasil letusan gunung api yang mempunyai porositas tinggi dan kurang kompak dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu keseimbangan hidrologinya, maka daerah tersebut akan rawan terhadap gerakan tanah. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah yang berada dalam busur kepulauan bersifat rawan gerakan tanah.

Berdasarkan pengaruh kondisi geologi, geomorfologi dan klimatologi di Indonesia, kejadian gerakan tanah di beberapa lokasi mempunyai intensitas yang tinggi. Hal tersebut sering diperparah dengan perilaku manusia yang akan dapat mempercepat atau mempertinggi kemungkinan terjadinya bencana alam tersebut. Pada hakekatnya kejadian gerakan tanah dipicu oleh ketidak mampuan lereng atau tanah atau batuan dalam menahan kontinuitas perkembangan “stress–strain” (tekanan–regangan) yang dialami. Kekuatan daya tahan (strength) terhadap perkembangan stress–strain ditentukan oleh kondisi tanah dan batuan. Tanah tergantung dari ikatan antara partikel yang menyusun tanah, sedangkan untuk batuan lebih banyak ditentukan oleh retakan-retakan pada batuan itu.

Air hujan dalam jumlah yang kecil hanya menyebabkan tanah menjadi lembab mempunyai efek memperkuat tanah. Namun demikian apabila tanah menjadi jenuh air, efeknya sangat melemahkan ikatan partikel. Molekul air menyusup ke partikel-partikel tanah dan menjadi katalisator proses gelinciran antar partikel. Faktor ini yang menyebabkan gerakan tanah banyak terjadi di musim penghujan.

Fenomena alam ini akan berubah menjadi bencana manakala gerakan tanah tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun kerugian harta benda, seperti rusaknya lahan pertanian, permukiman, jalan dan jembatan, saluran irigasi dan prasarana fisik lainnya.

Salah satu kejadian alam yang dapat menjadi bencana bagi manusia adalah gerakan tanah. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian wilayah Indonesia menjadi daerah yang rawan bagi terjadinya gerakan tanah. Kondisi ini ditambah dengan adanya curah hujan yang tinggi serta kejadian gempa yang sering muncul, secara alami akan ikut memicu terjadinya bencana alam gerakan tanah

Faktor penyebab lainnya yaitu pendayagunaan sumberdaya alam secara tidak teratur atau melampaui daya dukungnya yang akan berakibat negatif terjadinya bencana. Nilai guna suatu lahan yang rendah atau mempunyai kondisi geologi dan jenis medan yang kurang baik jika tidak diperhatikan secara cermat dalam perluasan lahan usahanya, akan mengundang bencana alam gerakan tanah (Verstappen, 1983).

Pemanfaatan lahan yang belum tepat serta relatif intensifnya aktifitas manusia dalam merubah tata guna lahan (land-use) ikut mempertinggi tingkat kebencanaan pada daerah rawan gerakan tanah. Keadaan ini terus saja berlangsung karena rendahnya tingkat kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah disamping lemahnya law enforcement terhadap pengawasan pembangunan dan pengembangan di kawasan rawan gerakan tanah ini. Adanya ketidakstabilan tanah di suatu daerah dapat memberikan pengaruh yang bervariasi tergantung pada sifat, besar dan jangkauan dari kawasan gerakan tanah tersebut. Dalam situasi yang paling ekstrim, bencana alam gerakan tanah dapat mengancam keselamatan jiwa, mengganggu kesehatan, ataupun merusak bangunan, infrastruktur dan lahan pertanian, serta membuat kepanikan dan mengganggu ketentraman dalam masyarakat.

ASURANSI BANJIR

Posted: 14 April 2013 in Uncategorized

100_0105xx

Manusia ternyata senang akan penghancuran diri sendiri, meski sebagian besar terjadi karena ketidaktahuannya dan mungkin oleh sifat keserakahannya. Sehingga melihat kehidupan ini hanya dalam skala kurun waktu pendek saja. Berbagai peradaban di dunia ini telah pupus dan lenyap karena ulah manusia. Bahkan, berbagai bencana alampun terjadi juga karena ulah manusia, meskipun kebanyakan dari mereka mengingkarinya.

Banyak bangunan bersejarah yang memiliki nilai arsitektur adiluhung, dihancurkan dengan alasan macam-macam, yang sebenarnya hanya untuk pemenuhan perut belaka.  Banyak lahan produktif yang kemudian mati karena ulah manusia, lahan yang tidak layak untuk huni-pun ada yang dipaksakan untuk menjadi hunian, dengan rasionalisasi demi kesejahteraan, demi pemenuhan kebutuhan akan rumah, tetapi senyatanya adalah untuk pemenuhan perut belaka. Tak ada tanggung jawab sama sekali dari developer setelah kompleks perumahan itu dihuni oleh para pembeli rumah. Dibiarkannya kawasan menjadi sengsara, menjadi rapuh, menjadi tua tanpa dipelihara, dilupakan begitu saja. Semisal Kota Lama di Semarang, yang kaya dengan ragam arsitektur yang indah, dibiarkan merana tanpa pemeliharaan dan perhatian sama sekali dari pemangku jabatan pemelihara kehidupan kota. Lebih tragis lagi ada kompleks permukiman yang belum lama dibangun, sekarang menjadi wilayah yang selalu tergenang air laut pasang (rob) setiap bulannya, tanpa ada usaha untuk mencarikan solusi yang mantab guna menunjang keberlanjutan kehidupan yang telah terjadi. Permukiman dibiarkan merana tergenang banjir ‘rob’ setiap bulannya, dan semakin tahun semakin tinggi saja ‘rob’ itu menggenangi permukiman mereka, padahal ketika pertama kali dihuni, tidak terlihat ada tanda-tanda bahwa daerah itu termasuk daerah yang nantinya akan tergenangi banjir air laut pasang. Daerah seperti ini biasanya pada awal pembangunannya sangat menarik, memiliki udara yang segar karena angin selalu bergerak dari laut menuju darat atau sebaliknya dari darat menuju laut, sehingga panasnya matahari menjadi hilang seiring dengan bertiupnya angin yang kencang. Tetapi tak berapa lama setelah dihuni, ketika angsuran-pun belum lunas, daerahnya sudah berubah menjadi daerah genangan banjir yang sangat mengganggu. Pemukim berlomba-lomba untuk meninggikan jalan depan rumah, meninggikan halaman, membuat tanggul, mengubah rumah menjadi bangunan bertingkat, dan seterusnya. Mengerikan, berapa uang yang habis dikeluarkan untuk perlindungan diri terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi, kapan mereka mampu bertahan, alangkah tidak sehatnya lingkungan permukiman yang selalu tergenang banjir seperti ini.

Asuransi Banjir

Kota Semarang sekarang sedang mempersiapkan diri untuk membangun waduk, diharpakan dengan adanya waduk ini dapat mengurangi banjir Semarang, terutama pada saat musim hujan tiba. Tetapi harus diingat pula bahwa banjir di Semarang sebenarnya bukan sekedar datang dari pada saat hujan saja. Ada tiga tipe banjir di Semarang, pertama banjir kiriman, banjir yang datang dari atas; kedua adalah banjir lokal, banjir akibat dari hujan lokal; dan ketiga yaitu banjir air laut pasang, inilah yang paling banyak mengganggu masyarakat perkotaan di Semarang.

Sebutan Semarang Kaline Banjir, yang menjadi lagu langgam Jawa yang sangat populer pada tahun 1970 – 1980an, ternyata benar adanya, dan bukan sekedar kali/sungai yang banjir, melainkan laut-pun membanjiri kota Semarang. Dengan bentuk bentang lahan yang berupa bukit dan dataran, Semarang memang menjadi kota yang menarik dan indah, tetapi ada konsekuensinya juga yaitu air yang datang dari atas secara cepat akan turun ke bawah, dan di bawah akan berjalan lambat menuju ke laut, sehingga wajar kalau terjadi penumpukan air di wilayah dataran ketika musim hujan. Dengan kondisi tanah yang masih muda di wilayah sepanjang pantai Kota Semarang, maka mudahlah terjadi penurunan muka tanah akibat banyaknya beban yang ditampung di daerah yang berbatasan dengan laut (pantai), sehingga ketika air laut mengalami pasang, masuklah air laut ke daratan menimbulkan banjir yang oleh masyarakat Semarang disebut dengan istilah ‘rob’.

Bhoem Blanchard dkk, dalam tulisannya di Journal Applied Geography volume 21 (2001), menceritakan bahwa di Nevada Amerika Serikat sekitar tahun 1960an pernah terjadi banjir besar. Ternyata makin tahun makin melebar wilayah banjirnya, meskipun pemerintah lokal sudah berusaha untuk mengelimir wilayah sebaran banjir. Akhirnya, agar masyarakat tetap mau tinggal di Nevada, pemerintah menetapkan adanya pertanggungan dari developer untuk membuat asuransi banjir, hal ini untuk menjamin bahwa lokasi yang telah dibangun supaya benar-benar dijaga dari gangguan genangan banjir secara serius. Perusahaan asuransi setempat akan menetapkan besaran nilai pertanggungan sesuai dengan lokasi yang dipilih oleh developer sebagai kawasan permukiman. Hal tersebut memang menjadikan harga jual rumah jadi lebih mahal, tetapi kalau terjadi banjir para penghuni bisa melakukan klaim atas kerugian akibat banjir tersebut. Daripada harganya murah, tetapi lima tahun mendatang nilainya merosot tajam karena menjadi daerah yang selalu tergenang banjir, sehingga tidak laku jual. Hal ini di Semarang sudah terjadi yaitu di beberapa wilayah sekitar Tanah Mas, harga rumah dan tanah sangat merosot, tidak sebanding dengan investasi yang telah ditanamkan sebelumnya.

Pembuatan waduk di kota atas Semarang untuk mengurangi resiko banjir kiriman dan menambah tinggi potensi air tanah bagi Kota Semarang adalah usaha yang baik, tetapi tidak ada sesuatupun di dunia ini yang tanpa resiko, Situ Gintung yang sudah ada sejak puluhan tahun silam ternyata bisa longsor juga. Maka alangkah baiknya kalau sekarang di Semarang disosialisasikan adanya asuransi banjir untuk permukiman di wilayah bawah rencana waduk tersebut. Kalau perlu juga untuk pembangunan permukiman baru di sekitar pantai kota Semarang. Dengan adanya asuransi ini, para developer akan memilih lokasi dengan sangat teliti, sebab kalau lokasi yang dipilih memiliki nilai resiko banjir yang tinggi terhadap kemungkinan terjadinya banjir, maka biaya asuransinya pasti akan mahal, maka berakibat pada mahalnya harga jual rumah, yang berarti keuntungan akan berkurang atau bahkan rumah bisa tidak laku kalau harga mahal dan kualitas hanya segitu saja. Tanpa asuransi, para developer ‘nakal’ akan dengan seenaknya memilih lokasi permukiman tanpa memperhatikan keselamatan penghuni selanjutnya.

Kalau pemerintah pusat secara nasional akan mencanangkan adanya asuransi gempa, maka untuk kota Semarang ada baiknya ditetapkan adanya asuransi banjir, sehingga meskipun Semarang selalu kaline banjir, hal ini tidak akan mengurangi minat pembeli dari luar kota untuk memilik rumah di Semarang, dan tidak akan menyengsarakan masyarakat Semarang, karena rumah dan lingkungannya sudah sudah diasuransikan terhadap bahaya banjir.

PARFI KHADIYANTO, dosen FT UNDIP Semarang